1. Sebab-sebab
terjadinya pemanasan global?....
Pemanasan global (Inggris: global warming adalah suatu
proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi
telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ±
0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar
disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju
dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Penyebab pemanasan global
a.
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di
Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan
Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian
dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap
di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap
air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas
tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus
sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana
gas dalam rumah
kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di
atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan
oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan
menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F),
bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula,
jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan
menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas
tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
b.
Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga
dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh
adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2,
pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke
atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus
berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu
kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih
besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan
balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi
menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi
objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan
kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan
sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan
tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian
awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim,
antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara
batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun
demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan
umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model
yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan
memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah
pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu
siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya
CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain
itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan
umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon
juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat
nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]
Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa
variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan,
dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca
adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek
rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah
paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama
pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut
terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan
dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari
masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan
bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua
ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah
berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode
1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman
saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca
dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek
pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar
pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas
rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan
dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa
mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari
Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi
peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama
30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan
global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik
melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
Mengukur pemanasan global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuwan
beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer
dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi
tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global
yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak
gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi
peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi
dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan
menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah
kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga
bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti
yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu
ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh
data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas.
Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini,
akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan
daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang
dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh
material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca
yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini
memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan
planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa
kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat
pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus
tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi
setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun
2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer.
IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga
6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa
meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100,
iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah
dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama
seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus
meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat
meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa
sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis.
Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali
sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi
yang sangat besar.
Model iklim
Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari
beberapa model iklim berdasarkan
scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global
berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan
fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa
penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini
memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang
lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah
kaca pada masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap
konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan
sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara
tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab
perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang
teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami
maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan
kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama
seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi
antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas
manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975
didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim,
ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan
skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap
Skenario Emisi (Special Report
on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan,
model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya
masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan
20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa
umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu
sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan
saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah
model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.
2. Dampak
pemanasan global terhadap kehidupan manusia khususnya di bidan perikanan?..
Perubahan
iklim memberikan dampak kepada ekosistem pesisir khususnya yang terkait dengan:
- kenaikan
paras muka laut
- perubahan
suhu permukaan laut
- perubahan
kadar keasaman air laut, dan
- meningkatnya
frekuensi dan intensitas kejadian ekstrim berupa badai tropis dan gelombang
tinggi.
Dampak
susulannya berupa penggenangan kawasan budidaya, kehilangan aset ekonomi dan
infraksruktur, meningkatnya erosi dan rusaknya situs budaya di wilayah pesisir
serta keanekaragaman hayati pesisir dan pulau-pulau kecil. Kerugian akan
diderita oleh masyarakat pesisir dan nelayan tangkap serta pembudidaya dalam
bentuk:
- menurunya
kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat erosi pantai, intrusi
air laut, dan pencemaran
- berkurangnya
produktifitas perikanan karena rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang
akibat naiknya suhu permukaan air laut dan perubahan rezim air tanah
- nelayan
memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun
rusaknya habitat perikanan dan fishing ground
- kerusakan
lahan budidaya perikanan akibat penggenangan oleh air laut maupun banjir yang
disebabkan oleh kenaikan paras muka air Laut
- kerusakan
rumah dan potensi kehilangan jiwa akibat kejadian ekstrim berupa badai tropis
dan gelombang tinggi Saat ini Indonesia memiliki sekitar 400 ribu ha lahan
budidaya tambak dan berbagai infrastuktur perikanan. Adanya dampak perubahan
iklim terhadap sebagian lahan tersebut, misalnya penggenangan, akan mengganggu
produksi hasil perikanan terutama udang yang merupakan komoditas ekspor
strategis. Selain itu dampak perubahan iklim akan memper buruk kondisi
sosial-ekonomi dari sekitar 8.000 desa pesisir dengan populasi kurang lebih 16
juta jiwa. Selain itu, peningkatan erosi akan mengancam 12 dari 92 pulau kecil
Terluar yang berfungsi sebagi penentu batas titik terluar wilayah NKRI.Kehilangan
pulau-pulau tersebu, maupun penurunan
sumberdaya serta kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya akan berpengaruh pada
keamanan dan ketahan nasional.
Program
Departemen Kelautan dan Perikanan terkait dengan perubahan iklim serta
dampaknya diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan untuk meningkatkan
kapasitas ekosistem pesisir dan pulau-pulau keciln dalam penyerapan karbon dan
fungsi alami laut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Upaya
peningkatan penyerapan emisi karbon yang dapat dilakukan oleh sektor kelautan
meliputi:
a. Penanaman
mangrove dan vegetasi pantai dengan pelibatan masyarakat dan sekaligus
meningkatkan pendapatannya.
b. Rehabilitasi
terumbu karang melalui transplantasi dan terumbu buatan
c. Menambah
luas wilayah konservasi laut (MPA). Pada tahun 2007 luas wilayah konservasi
laut Indonesia adalah 8.3 juta ha.
Ditargetkan,
pada tahun 2010 luas wilayah MPA Indonesia akan mencapai 10 juta ha, dan pada
tahun 2020 menjadi 20 juta ha.Strategi penanganan hutan, lahan pertanian dan
laut diperkirakan akan menghasilkan peningkatan penyerapan netto CO2e pada
tahun 2025 sebesar 947 juta ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar